Mengetuk Pintu Sarjana
Sarjana--Gelar yang diidamkan para pegiat akademis. Gelar yang membuat seseorang dipandang tinggi oleh orang-orang yang belum dapat (bahkan tidak bisa) meraihnya. Seseorang berkata : jangan terlalu bertumpu nasib pada gelar sarjana, sebab sarjana tak mampu menjaminmu memiliki pekerjaan yang prestisius. Lain lagi dengan kutipan dalam buku "Never Quit" karya ka Fatturoyhan yang kurang lebih berbunyi :"pendidikan tinggi memang tidak menjamin seseorang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, tapi pendidikan tinggi mampu menjamin seseorang agar memiliki kehidupan yang lebih baik."
Ya, inilah catatan juangku untuk mengetuk pintu sarjana. Sekitar bulan Mei 2018, aku menerima surat kelulusan sekolah SMAku. Berdebar rasanya, perjalanan kami selama 3 tahun menempuh bangku SMA akan ditentukan hari itu. 'Lulus' kata itulah yang tercantum dalam surat kelulusanku. Alhamdulillah, bersyukur sekali rasanya bisa mengenyam pendidikan di SMA selama 3 tahun itu. Angkatan kakak kelasku banyak yang menuliskan :"selamat menjelajahi dunia nyata yang keras." Pun guru-guruku mengatakan :"selamat menempuh hidup baru."
Bertepatan dengan bulai Mei pula, Ramadhan tiba. Dan mulailah penjelajahanku untuk memperoleh gelar baru agar aku tidak di cap pengangguran, pikirku. Aku mulai membuat surat-surat (yang katanya) penting untuk melamar kerja di kemudian hari. Diantar oleh teman SMAku kesana-kemari, kami menjelajahi jalan Cianjur untuk mencari kantor disnakertrans yang diwarnai dengan acara nyasar. Dengan antrian yang tak terlalu padat-karena suasana Ramadhan yang mayoritas orang lebih senang diam di rumah daripada berpergian- akhirnya surat penting itu pun langsung kami dapatkan hari itu juga. Kupandangi surat kuning itu, surat yang akan menandai perjalanan lamaran kerjaku yang tanggal berlakunya hanya 2 tahun dan harus diperpanjang nantinya. Perjalanan itu pun berlanjut ke polres Cianjur. Untuk membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian untuk melamar kerja.
Setelah memasuki bulan Syawal, aku gencar memasukkan surat lamaran kerja ke setiap perusahaan (walaupun mereka tidak membuka lowongan kerja). Bekerja di pabrik sedang menjadi trend di kalangan lulusan SMA sederajat pada waktu itu. Aku turut serta memasukan lamaran ke pabrik-pabrik. Setelah melalui siklus lamar-masuk-ditolak, berkali-kali, akhirnya aku masuk ke sebuah pabrik sebagai pekerja harian yang diupah sebesar Rp. 38.000,00/hari. Sulit, tapi bagaimana lagi. Alibi untuk tidak merepotkan orang tua dan punya banyak keinginan menguatkan tekadku.
Ketika bertemu dengan personalia pabrik tersebut, para pelamar diwawancara. Beliau menjelaskan bahwa seorang pekerja harian sebetulnya tidak membutuhkan surat-surat penting. Lamarannya cenderung mudah, hanya fotokopi ktp dan kartu keluarga yang harus dilampirkan. Jlebb sekali pernyataan itu. Kurang lebih selama 14 hari aku bekerja sebagai pegawai harian. Sisanya diberhentikan karena perusahaan sedang mengalami penurunan produksi karena stok barang mulai berkurang. Oke, akhirnya aku kembali menganggurkan diri (lagi).
Selang beberapa waktu, aku diajak oleh seseorang untuk ke sekolah. Bahagia rasanya. Bertemu guru-guru, menatap wajah ceria adik kelas dan memandang lingkungan yang telah membersamaiku selama 3 tahun lamanya. Di sekolah pula, aku mendapat rekomendasi dari guruku untuk masuk ke salah satu pabrik. Akhirnya kami berdua mengiyakan untuk melamar.
Hari-hari berikutnya panggilan datang. Ahh.. angin segar yang sedang menyapa diri. Aku bergegas menuju perusahaan bersama rekanku. Kami dites berbagai macam soal. Soal TKD logika, dan berbagai soal matematika. Matilah aku, pikirku. Sejak SD aku tak bisa bersahabat dengan sang master pelajaran itu. Setelah tes selesai, pelamar dipanggil satu persatu dan diwawancarai. Hanya terdapat 3 perempuan diantara sekitar 20 pelamar. Ketika proses wawancara berlangsung, sang penanya memberi berbagai pertanyaan untukku, tentang siapa aku, keluarga dan riwayat pendidikan.
Satu yang kuingat dari perkataan sang personalia, bahwa jika aku bekerja di sana, tak ada waktu untukku agar bisa berkuliah. Ahhh... rasanya mati rasa dan sedikit harapan melayang. Niatku untuk kuliah sambil bekerja agaknya pupus. Pukul 16.00 para pelamar mendapat pengumuman. Kenyataan bahwa aku tidak lolos di perusahaan tersebut karena hasil nilai tes yang jumlahnya di bawah standar. Baiklah, gumamku. Toh, masih banyak lagi perusahaan yang belum ku datangi. Baru 5x penolakan. Aku tak boleh pupus dan semangatku tak boleh padam. Tapi patah hati itu masih ada. Mau jadi apa aku ini? Menganggur, hanya makan dan tidur, disamping aku membantu orang tuaku sebisa tenaga.
Hari itu, Rabu di bulan Agustus 2018, sebuah pesan masuk dari walas SMAku. Beliau memberitahu bahwa ada program Beasiswa CSR di salah satu universitas di Cianjur. Aku berpikir keras, bertanya-tanya pada diriku sendiri. Haruskah aku ikut? Rencanaku kuliah adalah tahun selanjutnya. Sudah ku putuskan bahwa aku akan mengambil gap year untuk bisa beradaptasi dengan pekerjaan terlebih dahulu. Juga karena aku takut ketika aku kuliah aku tak bisa membiayai ongkos kuliahku.
Di sisi lain, ini adalah kesempatan emas. Ya, belum tentu tawaran itu datang menghampiriku 2 kali. Dilema hari itu. Namun, mau bagaimana lagi? Aku harus segera mengambil keputusan dan merencanakan langkah selanjutnya. Ku katakan pada ibuku, aku ingin kuliah. Lagi-lagi jawaban beliau hanya sikap 'terserah padamu.' Beliau bilang :"jangankan untuk membiayai kuliahmu, untuk makan sehari-hari pun entah bagaimana. Kalau kamu mau, silahkan perjuangkan. Ibu hanya mendoakan yang terbaik."
Perihal Bapak, aku memang belum memberitahukan keputusan kuliahku ini. Ahk, kupikir bapak akan setuju atas keputusanku. Rasanya bapak selalu dipihakku. Esoknya aku mulai menguruskan berkas-berkas persyaratan untuk kuliah. Bolak-balik ke sekolah dengan budget minim, karena sama sekali tak memiliki tabungan. Beruntung, bibiku mau menguruskan berkas dengan menyuruhku. Aku diberi sejumlah uang untuk ongkos, dengan syarat menguruskan berkas miliknya juga. Hari jum'at, aku meminta temanku, Reza, untuk mengantarku membuat SKCK ke polres. (Semoga Alloh senantiasa mempermudah urusannya.)
Permasalahan berkas telah selesai, selanjutnya sosialisasi di sekeretariat pokjar UT siliwangi. Aku dilanda kebingungan. Jujur saja, tabungan yang tak seberapa sudah habis digunakan untuk mengurus berkas. Tak mungkin rasanya jika harus merengek pada ibu. Gundah gulana, gelisah. "Ya Alloh, ko gini sih? Sulit sekali masuk kuliah walaupun lewat beasiswa pun." Itu suara kesal dalam diriku.
Namun satu hal yang selalu memotivasiku, kutipan firman-Nya dalam surah al -Insyirah, "Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Bersama kesulitan itu ada kemudahan." Ya.. itulah motivasiku. Alloh saja sudah menjanjikan kemudahan di balik kesulitan yang kualami. Bahkan ditegaskan sampai 2 kali dalam surat tersebut. Aku berusaha kuatkan kembali hatiku. Meyakinkan diri bahwa aku bisa, harus dan pasti bisa melewatinya.
Setelah pergulatan jiwa dan raga, ku tumpah ruahkan segala gejolak batin dan kendala urusan finansial pada ibuku. Dengan hangat beliau menasehatiku. Lalu memberiku saran untuk meminjam uang pada tetangga. Beliau menasehatiku agar menghilangkan gengsi dan rasa tak berguna lainnya. Kuberanikan mengetuk pintu tetanggaku, mendatangi rumahnya untuk meminjam sejumlah uang yang akan ku gunakan untuk pergi ke sekretariat pokjar-(semoga Alloh senantiasa melimpahkan rezeki serta berkah untuk keluarganya).
Pada sosialisasi pertama aku ikut. Dan beberapa hari kemudian aku dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa CSR jurusan S1 Akuntansi. Alhamdulillah.. tak sia-sia rupanya usaha ini. Bahagia sekali rasanya, perjuangan melelahkan itu berakhir sangat indah.
Masalah kuliah ternyata tak berhenti di sana. Predikat menganggur yang ku sandang mulai menggoyahkan hatiku. Bagaimana ini? Bagaimana nanti kuliahku, sedang aku tak memiliki pekerjaan saat ini. Hawa cemas mulai menggelayuti jiwa. Ahk.. sejujurnya perasaan inferior dan nada putus asa inilah yang kubenci dari diriku. Bukannya mengobarkan api semangat, sikapku malah sebaliknya.
Sejenak aku ingin menghilangkan penat karena urusan kuliahku yang entah akan seperti apa. Padahal masih lama, bulan September baru kami akan memasuki ajaran tahun pertama. Namun hawa takut karena kekurangan finansial rupanya lebih mengerikan daripada proses kuliahnya sendiri.
Jika kamu memimpikan sesuatu, maka alam akan berkonspirasi untuk mewujudkannya. Sebuah pepatah tertulis seperti itu. Di satu hari, aku mengobrol online dengan guru SMAku yang biasa ku panggil Ambu. Beliau mencari pengasuh bagi balitanya, Khawla. Aku iseng-iseng menawarkan diri. Ambu bertanya lebih lanjut tentang kesiapanku. Dan aku mengajukan syarat bahwa pada hari sabtu-minggu aku berkuliah. Ambu mengiyakan. Tak apa, kata beliau. Yang terpenting anak-anak aman saat beliau mengajar, dan ada orang yang menemani Ambu di rumah. Hingga saat ini, Ambu menjadi orang tua ketiga yang membiayai proses kuliahku dari awal sampai menginjak semester 2 ini.
Betapa Maha Baiknya Alloh, yang menitipkan saya diantara orang-orang yang baik hati. Teringat akan isi ceramah-ceramah yang selalu saya dengar saat MTs maupun SMA. Apabila kita senantiasa ikhlas berbuat baik karena Alloh, maka suatu saat nanti kebaikan itu akan berbalik pada diri kita, dan itu pasti. Bagaimana caranya dan seperti apa wujud kedatangannya hanyalah Alloh yang tahu. Do'a orang tua pun adalah do'a-do'a yang diijabah Alloh. Aku yakin, bukan tanpa sebab, semua sudah tercatat dalam garis takdir perjalananku. Hanya saja aku harus memaksimalkan ikhtiarku.
Pada bulan September, aku memulai langkahku menjelajahi dunia Kuliah Kerja Nyata. Dimana aku harus kuliah di waktu kuliah, dan sisanya aku bekerja. Bagaimana rasanya? Berjuta-juta rasa. Pada hari pertama kedatanganku ke rumah Ambu, ku rasa hawa haru mulai menyelimuti. Malam hari aku mulai menangis, belum terbiasa tanpa suara ibu. Namun hari-hari selanjutnya aku mulai terbiasa.
Bagaimanapun juga aku harus menjejaki langkah-langkah kecil untuk mencapai mimpi-mimpi dan tujuan dalam hidupku. Sebelum mataku tertutup dan badanku mulai kaku. Dan kurasakan pula, kuliah sambil bekerja bukanlah perkara mudah. Namun hal yang patut disyukuri, karena tak semua orang bisa mencicipinya. Kadang aku mengobati diriku sendiri.. dengan kata-kata yang dibuat-buat.
Sekali lagi, jika kau ingin mengeluh karena tugas-tugas kuliah..
Sadarilah, bahwa itu merupakan salah satu ni'mat menjadi seorang mahasiswa...
Sabarilah, karena tak semua orang kini mampu duduk di bangku yang kau duduki...
Itulah kutipan-kutipan yang selalu kubisikan pada diriku sendiri.
Ternyata, mimpi itu bisa menjadi nyata jika kita yakin untuk melalui langkah demi langkah untuk mencapainya. Satu hal yang ku pelajari dari semua ini. Bahwa Alloh akan memberikan kita sepaket keinginan itu beserta jaminan rezeki untuk mencapainya saat kita bersungguh-sungguh. Jangan pernah takut, jangan pernah khawatir. Aku teringat kutipan kata mutiara dalam novel "Negeri 5 Menara" karya Ahmad Fuadi :"Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Sungguh Tuhan Maha Mendengar."
Satu hal yang dapat ku ambil dari semua ini, bahwa setiap kesulitan yang didapatkan manusia, merupakan batu-batu kerikil yang akan membangun tangga-tangga untuk menghantarkan manusia itu sendiri mencapai puncaknya. Bahwa setiap kesulitan yang ada sejatinya merupakan sebuah titik-titik hujan yang akan menghantarkan manusia agar mampu melihat pelangi kebahagiaannya.
Kegagalan yang ku lalui dan setiap kesulitan yang pernah menghampiri, nyatanya hari ini ku rasakan sebagai sesuatu yang membuatku tumbuh kuat dan mencicipi manisnya hasil perjuangan untuk mengetuk pintu sarjanaku.
Cianjur, Mei 2019.
10 Ramadhan 1940 H
Ya, inilah catatan juangku untuk mengetuk pintu sarjana. Sekitar bulan Mei 2018, aku menerima surat kelulusan sekolah SMAku. Berdebar rasanya, perjalanan kami selama 3 tahun menempuh bangku SMA akan ditentukan hari itu. 'Lulus' kata itulah yang tercantum dalam surat kelulusanku. Alhamdulillah, bersyukur sekali rasanya bisa mengenyam pendidikan di SMA selama 3 tahun itu. Angkatan kakak kelasku banyak yang menuliskan :"selamat menjelajahi dunia nyata yang keras." Pun guru-guruku mengatakan :"selamat menempuh hidup baru."
Bertepatan dengan bulai Mei pula, Ramadhan tiba. Dan mulailah penjelajahanku untuk memperoleh gelar baru agar aku tidak di cap pengangguran, pikirku. Aku mulai membuat surat-surat (yang katanya) penting untuk melamar kerja di kemudian hari. Diantar oleh teman SMAku kesana-kemari, kami menjelajahi jalan Cianjur untuk mencari kantor disnakertrans yang diwarnai dengan acara nyasar. Dengan antrian yang tak terlalu padat-karena suasana Ramadhan yang mayoritas orang lebih senang diam di rumah daripada berpergian- akhirnya surat penting itu pun langsung kami dapatkan hari itu juga. Kupandangi surat kuning itu, surat yang akan menandai perjalanan lamaran kerjaku yang tanggal berlakunya hanya 2 tahun dan harus diperpanjang nantinya. Perjalanan itu pun berlanjut ke polres Cianjur. Untuk membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian untuk melamar kerja.
Setelah memasuki bulan Syawal, aku gencar memasukkan surat lamaran kerja ke setiap perusahaan (walaupun mereka tidak membuka lowongan kerja). Bekerja di pabrik sedang menjadi trend di kalangan lulusan SMA sederajat pada waktu itu. Aku turut serta memasukan lamaran ke pabrik-pabrik. Setelah melalui siklus lamar-masuk-ditolak, berkali-kali, akhirnya aku masuk ke sebuah pabrik sebagai pekerja harian yang diupah sebesar Rp. 38.000,00/hari. Sulit, tapi bagaimana lagi. Alibi untuk tidak merepotkan orang tua dan punya banyak keinginan menguatkan tekadku.
Ketika bertemu dengan personalia pabrik tersebut, para pelamar diwawancara. Beliau menjelaskan bahwa seorang pekerja harian sebetulnya tidak membutuhkan surat-surat penting. Lamarannya cenderung mudah, hanya fotokopi ktp dan kartu keluarga yang harus dilampirkan. Jlebb sekali pernyataan itu. Kurang lebih selama 14 hari aku bekerja sebagai pegawai harian. Sisanya diberhentikan karena perusahaan sedang mengalami penurunan produksi karena stok barang mulai berkurang. Oke, akhirnya aku kembali menganggurkan diri (lagi).
Selang beberapa waktu, aku diajak oleh seseorang untuk ke sekolah. Bahagia rasanya. Bertemu guru-guru, menatap wajah ceria adik kelas dan memandang lingkungan yang telah membersamaiku selama 3 tahun lamanya. Di sekolah pula, aku mendapat rekomendasi dari guruku untuk masuk ke salah satu pabrik. Akhirnya kami berdua mengiyakan untuk melamar.
Hari-hari berikutnya panggilan datang. Ahh.. angin segar yang sedang menyapa diri. Aku bergegas menuju perusahaan bersama rekanku. Kami dites berbagai macam soal. Soal TKD logika, dan berbagai soal matematika. Matilah aku, pikirku. Sejak SD aku tak bisa bersahabat dengan sang master pelajaran itu. Setelah tes selesai, pelamar dipanggil satu persatu dan diwawancarai. Hanya terdapat 3 perempuan diantara sekitar 20 pelamar. Ketika proses wawancara berlangsung, sang penanya memberi berbagai pertanyaan untukku, tentang siapa aku, keluarga dan riwayat pendidikan.
Satu yang kuingat dari perkataan sang personalia, bahwa jika aku bekerja di sana, tak ada waktu untukku agar bisa berkuliah. Ahhh... rasanya mati rasa dan sedikit harapan melayang. Niatku untuk kuliah sambil bekerja agaknya pupus. Pukul 16.00 para pelamar mendapat pengumuman. Kenyataan bahwa aku tidak lolos di perusahaan tersebut karena hasil nilai tes yang jumlahnya di bawah standar. Baiklah, gumamku. Toh, masih banyak lagi perusahaan yang belum ku datangi. Baru 5x penolakan. Aku tak boleh pupus dan semangatku tak boleh padam. Tapi patah hati itu masih ada. Mau jadi apa aku ini? Menganggur, hanya makan dan tidur, disamping aku membantu orang tuaku sebisa tenaga.
Hari itu, Rabu di bulan Agustus 2018, sebuah pesan masuk dari walas SMAku. Beliau memberitahu bahwa ada program Beasiswa CSR di salah satu universitas di Cianjur. Aku berpikir keras, bertanya-tanya pada diriku sendiri. Haruskah aku ikut? Rencanaku kuliah adalah tahun selanjutnya. Sudah ku putuskan bahwa aku akan mengambil gap year untuk bisa beradaptasi dengan pekerjaan terlebih dahulu. Juga karena aku takut ketika aku kuliah aku tak bisa membiayai ongkos kuliahku.
Di sisi lain, ini adalah kesempatan emas. Ya, belum tentu tawaran itu datang menghampiriku 2 kali. Dilema hari itu. Namun, mau bagaimana lagi? Aku harus segera mengambil keputusan dan merencanakan langkah selanjutnya. Ku katakan pada ibuku, aku ingin kuliah. Lagi-lagi jawaban beliau hanya sikap 'terserah padamu.' Beliau bilang :"jangankan untuk membiayai kuliahmu, untuk makan sehari-hari pun entah bagaimana. Kalau kamu mau, silahkan perjuangkan. Ibu hanya mendoakan yang terbaik."
Perihal Bapak, aku memang belum memberitahukan keputusan kuliahku ini. Ahk, kupikir bapak akan setuju atas keputusanku. Rasanya bapak selalu dipihakku. Esoknya aku mulai menguruskan berkas-berkas persyaratan untuk kuliah. Bolak-balik ke sekolah dengan budget minim, karena sama sekali tak memiliki tabungan. Beruntung, bibiku mau menguruskan berkas dengan menyuruhku. Aku diberi sejumlah uang untuk ongkos, dengan syarat menguruskan berkas miliknya juga. Hari jum'at, aku meminta temanku, Reza, untuk mengantarku membuat SKCK ke polres. (Semoga Alloh senantiasa mempermudah urusannya.)
Permasalahan berkas telah selesai, selanjutnya sosialisasi di sekeretariat pokjar UT siliwangi. Aku dilanda kebingungan. Jujur saja, tabungan yang tak seberapa sudah habis digunakan untuk mengurus berkas. Tak mungkin rasanya jika harus merengek pada ibu. Gundah gulana, gelisah. "Ya Alloh, ko gini sih? Sulit sekali masuk kuliah walaupun lewat beasiswa pun." Itu suara kesal dalam diriku.
Namun satu hal yang selalu memotivasiku, kutipan firman-Nya dalam surah al -Insyirah, "Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Bersama kesulitan itu ada kemudahan." Ya.. itulah motivasiku. Alloh saja sudah menjanjikan kemudahan di balik kesulitan yang kualami. Bahkan ditegaskan sampai 2 kali dalam surat tersebut. Aku berusaha kuatkan kembali hatiku. Meyakinkan diri bahwa aku bisa, harus dan pasti bisa melewatinya.
Setelah pergulatan jiwa dan raga, ku tumpah ruahkan segala gejolak batin dan kendala urusan finansial pada ibuku. Dengan hangat beliau menasehatiku. Lalu memberiku saran untuk meminjam uang pada tetangga. Beliau menasehatiku agar menghilangkan gengsi dan rasa tak berguna lainnya. Kuberanikan mengetuk pintu tetanggaku, mendatangi rumahnya untuk meminjam sejumlah uang yang akan ku gunakan untuk pergi ke sekretariat pokjar-(semoga Alloh senantiasa melimpahkan rezeki serta berkah untuk keluarganya).
Pada sosialisasi pertama aku ikut. Dan beberapa hari kemudian aku dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa CSR jurusan S1 Akuntansi. Alhamdulillah.. tak sia-sia rupanya usaha ini. Bahagia sekali rasanya, perjuangan melelahkan itu berakhir sangat indah.
Masalah kuliah ternyata tak berhenti di sana. Predikat menganggur yang ku sandang mulai menggoyahkan hatiku. Bagaimana ini? Bagaimana nanti kuliahku, sedang aku tak memiliki pekerjaan saat ini. Hawa cemas mulai menggelayuti jiwa. Ahk.. sejujurnya perasaan inferior dan nada putus asa inilah yang kubenci dari diriku. Bukannya mengobarkan api semangat, sikapku malah sebaliknya.
Sejenak aku ingin menghilangkan penat karena urusan kuliahku yang entah akan seperti apa. Padahal masih lama, bulan September baru kami akan memasuki ajaran tahun pertama. Namun hawa takut karena kekurangan finansial rupanya lebih mengerikan daripada proses kuliahnya sendiri.
Jika kamu memimpikan sesuatu, maka alam akan berkonspirasi untuk mewujudkannya. Sebuah pepatah tertulis seperti itu. Di satu hari, aku mengobrol online dengan guru SMAku yang biasa ku panggil Ambu. Beliau mencari pengasuh bagi balitanya, Khawla. Aku iseng-iseng menawarkan diri. Ambu bertanya lebih lanjut tentang kesiapanku. Dan aku mengajukan syarat bahwa pada hari sabtu-minggu aku berkuliah. Ambu mengiyakan. Tak apa, kata beliau. Yang terpenting anak-anak aman saat beliau mengajar, dan ada orang yang menemani Ambu di rumah. Hingga saat ini, Ambu menjadi orang tua ketiga yang membiayai proses kuliahku dari awal sampai menginjak semester 2 ini.
Betapa Maha Baiknya Alloh, yang menitipkan saya diantara orang-orang yang baik hati. Teringat akan isi ceramah-ceramah yang selalu saya dengar saat MTs maupun SMA. Apabila kita senantiasa ikhlas berbuat baik karena Alloh, maka suatu saat nanti kebaikan itu akan berbalik pada diri kita, dan itu pasti. Bagaimana caranya dan seperti apa wujud kedatangannya hanyalah Alloh yang tahu. Do'a orang tua pun adalah do'a-do'a yang diijabah Alloh. Aku yakin, bukan tanpa sebab, semua sudah tercatat dalam garis takdir perjalananku. Hanya saja aku harus memaksimalkan ikhtiarku.
Pada bulan September, aku memulai langkahku menjelajahi dunia Kuliah Kerja Nyata. Dimana aku harus kuliah di waktu kuliah, dan sisanya aku bekerja. Bagaimana rasanya? Berjuta-juta rasa. Pada hari pertama kedatanganku ke rumah Ambu, ku rasa hawa haru mulai menyelimuti. Malam hari aku mulai menangis, belum terbiasa tanpa suara ibu. Namun hari-hari selanjutnya aku mulai terbiasa.
Bagaimanapun juga aku harus menjejaki langkah-langkah kecil untuk mencapai mimpi-mimpi dan tujuan dalam hidupku. Sebelum mataku tertutup dan badanku mulai kaku. Dan kurasakan pula, kuliah sambil bekerja bukanlah perkara mudah. Namun hal yang patut disyukuri, karena tak semua orang bisa mencicipinya. Kadang aku mengobati diriku sendiri.. dengan kata-kata yang dibuat-buat.
Sekali lagi, jika kau ingin mengeluh karena tugas-tugas kuliah..
Sadarilah, bahwa itu merupakan salah satu ni'mat menjadi seorang mahasiswa...
Sabarilah, karena tak semua orang kini mampu duduk di bangku yang kau duduki...
Itulah kutipan-kutipan yang selalu kubisikan pada diriku sendiri.
Ternyata, mimpi itu bisa menjadi nyata jika kita yakin untuk melalui langkah demi langkah untuk mencapainya. Satu hal yang ku pelajari dari semua ini. Bahwa Alloh akan memberikan kita sepaket keinginan itu beserta jaminan rezeki untuk mencapainya saat kita bersungguh-sungguh. Jangan pernah takut, jangan pernah khawatir. Aku teringat kutipan kata mutiara dalam novel "Negeri 5 Menara" karya Ahmad Fuadi :"Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Sungguh Tuhan Maha Mendengar."
Satu hal yang dapat ku ambil dari semua ini, bahwa setiap kesulitan yang didapatkan manusia, merupakan batu-batu kerikil yang akan membangun tangga-tangga untuk menghantarkan manusia itu sendiri mencapai puncaknya. Bahwa setiap kesulitan yang ada sejatinya merupakan sebuah titik-titik hujan yang akan menghantarkan manusia agar mampu melihat pelangi kebahagiaannya.
Kegagalan yang ku lalui dan setiap kesulitan yang pernah menghampiri, nyatanya hari ini ku rasakan sebagai sesuatu yang membuatku tumbuh kuat dan mencicipi manisnya hasil perjuangan untuk mengetuk pintu sarjanaku.
Cianjur, Mei 2019.
10 Ramadhan 1940 H
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSemoga Allah lancarkan semuanya mbaa <3
BalasHapus