Dua Puluh Ribu Rupiah




Mengenang perjalanan tentang arti dua puluh ribu rupiah dalam hidupku. Dulu, saat aku menginjakkan kaki di bangku MTs memiliki uang saku sebesar dua ribu rupiah sudah menjadi sebuah kemewahan untukku. Artinya, jika aku kumpulkan selama enam hari sekolah maka akan ku dapati hasilnya sebanyak dua belas ribu rupiah pada hari sabtu. Namun kejayaan dua ribu perhariku hanya bertahan beberapa saat. Kala itu keluargaku mengalami defisit keuangan. Bagaimana tidak, pekerjaan kuli bangunan yang giat Ayahku lakukan berhenti. Pertama karena tidak ada lagi yang membangun rumah, kedua karena bertepatan dengan musim kemarau. Itulah sebabnya ayahku terpaksa menganggur.

Ibuku adalah manajer tercerdas dalam menyiasati kesulitan ekonomi itu. Aku tetap diberi uang saku walaupun krisis. Alhamdulillah.. bekalku menjadi sepuluh ribu rupiah untuk satu minggu, diberikan setiap hari kamis sore. Begitu seterusnya sampai ayahku bekerja kembali. Jangan ditanya, apakah perasaanku, yang terbersit dalam pikiranku adalah :"aku ingin tetap belajar, aku ingin menjadi wanita berpendidikan tinggi. Tak masalah jika kesulitan materi menderaku. Bisa berjalan kaki ke sekolah setiap hari selama tiga tahun adalah karunia dan kesempatan yang tidak Allah berikan pada semua makhluknya."

Aku ingat sekali, kebiasaan teman-teman MTsku setiap istirahat sekolah adalah jajan gorengan. Waktu itu sedang trend yang namanya tahu pedas. Harganya seribu rupiah. Aku sadar uang sakuku tak mampu memenuhi keinginan jajanku setiap hari. Maka aku biasanya puasa setiap hari senin dan kamis. Hingga lama-kelamaan puasa itu menjadi bagian dari rutinitasku dan alhamdulillah berlanjut sampai SMA. Kadang ketika keinginan jajan itu tak terkendali, aku meminjam uang kepada temanku hanya untuk membeli air minum. Itu pun bukan air minum yang mewah, hanya minuman seduhan yang dimasukan ke dalam plastik. Ahk, tak apa. Itu sudah menjadi kemewahan untukku.

Lanjut menjejaki bangku SMA. Bekalku meningkat. Alhamdulillah.. sepuluh ribu untuk uang saku satu hari. Dengan rincian delapan ribu rupiah ongkos sekolah pulang-pergi, dan dua ribu rupiah untuk jajan di sekolah. Bodohnya aku, dengan uang sebesar itu pun aku masih belum bisa menabung juga. Kadang kecukupan uang jajan itulah yang membuatku berinisiatif untuk menjalankan rutinitas puasa sunnah. Tak jarang aku juga tak bisa berangkat ke sekolah karena orang tuaku tak punya uang saku untuk ongkos.

Kini, aku sudah berhasil menempuh perjalanan SMAku. Aku tak lagi mengalami kekurangan-kekurangan keuangan seperti dulu. Dengan gaji yang memadai aku bisa  memenuhi kebutuhan maupun keinginanku. Kadang aku juga ikut merayakan kebahagiaan itu dengan berbagi kepada adik-adik kecilku. Ayah dan Ibuku selalu berkata :"jika kamu memiliki keuangan yang sudah mencukupi, jangan lupa berbagi. Lihat orang-orang disekelilingmu. Anak yatim, orang tua dan orang yang layak diberi. Jangan menutup mata."

Dulu, uang dua puluh ribu amatlah berharga untukku. Sangat besar nilai manfaat yang bisa aku ambil darinya. Ketika aku mendapatkan nominal dua puluh ribu rupiah dari hasil menabung, maka aku akan berusaha membeli apa yang sebelumnya terpendam dalam pikiranku.

Kini, ketika aku membaginya, maka yang ku lihat hanyalah tetesan air mata orang-orang yang menerimanya. Tetesan haru nan sedih yang bergulat. Kadang tanganku dipegang dengan air mata di wajah yang bercucuran, begitu pun denganku, dulu. Hal yang kecil menurut kita bisa jadi sangat berharga bagi orang-orang di sekitar kita. Jadi, jangan pernah berhenti syukuri apapun yang telah kita dapatkan.
Seperti pepatah yang mengatakan :"kehidupan yang sekarang ini sedang kau keluhkan, bisa jadi itu adalah kehidupan yang sedang orang lain dambakan."
                                    Cianjur, June 29th 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini Jangan Gagal lagi

Salah Kamar (1)

Aroma Biru Beradu Rindu