Selangkah Lebih Maju




Apa makna sukses menurutmu? Padahal kita tahu, banyak sekali ungkapan-ungkapan yang berbunyi bahwa :"sukses adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan."

Ah, apalah namanya tulisan ini, sebuah motivasi, nasihat atau apa? Aku hanya sedang memperbaiki kondisi moodku yang kurang bersahabat. Karena dengan mengingat cerita-cerita lama yang berhasil mengantarku sampai di titik ini, aku akan sedikit menghembuskan nafas lega dan menerima semuanya.

Dulu, kepala sekolah SMAku, Bapak Toto Suharya dalam acara breakfast motivation mengatakan bahwa :"ada orang-orang yang selangkah lebih maju daripada orang yang lain. Dan ada manusia-manusia yang sudah berhasil mengalahkan nafsu yang bersemayam dalam dirinya. Tengok! Apakah kita adalah orangnya?"

Kau tahu, cita-citaku masuk SMA adalah aku ingin mengejar prestasi akademik. Menemukan iklim pendidikan yang baru daripada di MTs, menemukan tempat untuk mencurahkan masa peralihanku sebagai remaja, dan tempat bertemu orang-orang hebat yang mengisnpirasi. Tentu, selain tujuan utama untuk mengemban kewajiban sebagai seorang muslim yang harus menuntut ilmu. Memang benar, SMA bukan satu-satunya tempat untuk menuntut ilmu. Tapi, aku tak pernah bisa memasuki dunia pesantren karena ada berbagai kendala.


Awal-awal menempuh jenjang SMA, semuanya berjalan mulus. Alhamdulillah.. aku dapat bernafas lega karena biaya bulanan sekolahku ditanggung dana BOS. Sisanya, aku harus membayar biaya UDT yang bisa dicicil hingga 3 tahun lamanya. Kemudahan pun Allah berikan, karena beberapa bulan setelah masuk SMA pun aku masih mendapatkan dana bantuan tunai dari pemerintah. Tentu saja, itu semua atas bantuan juga dari para pihak pengelola di sekolah.

Saat kelas 2 SMA, ayahku mulai menganggur. Ya, menganggur. Bayangkan saja, satu-satunya tempat kami berpegang erat untuk membiayai semua kebutuhan kami tiba-tiba terhenti. Tak jarang setiap malamnya kulihat wajah sendu ibuku yang penuh kebingungan. Terkadang diikuti oleh butir-butir tetesan air mata. Jika diingat kembali, ini seperti drama.

Betapa hebat ibuku, di dalam kekalutan itu ia masih berjuang. Meski dengan jalan yang aneh menurutku. Ya, ibuku meminjam uang ke satu bank keliling, untuk kemudian membayarkannya ke bank keliling yang lainnya.

Ibu mengajak kami, anak-anaknya, berunding. "Ibu punya permintaan, kalo kalian sanggup membantu ibu, bantulah. Kita harus sama-sama berjuang untuk tetap bertahan. Kalo kita tidak mau saling membantu, siapa lagi yang akan membantu kita?" Ide ibu adalah berdagang makanan. Dan siapa yang harus menjualnya, itu adalah aku. Setelah kesepakatan itu tercapai, dengan sedikit rasa keberatan aku mengiyakan. Bagaimana mungkin aku berkata tidak, sedangkan hanya ini yang dapat ku lakukan.

Awal-awal membawa jualan ke sekolah aku merasa tidak percaya diri. Aku harus menggendong tas sekolahku yang besar juga harus menenteng satu box berisi makanan yang akan ku jual. Pahit rasanya, berat menyelimuti perasaanku yang ujung-ujungnya aku bertanya-tanya sendiri, mengapa aku tak seberuntung teman-temanku?

Hari pertama, hari kedua, sampai satu minggu berjualan gorengan. Setiap waktu istirahat harus berkeliling mengitari kelas demi kelas untuk menjajakan daganganku. Malu-malu, aku bahkan hanya berbicara dengan para pembeliku seperlunya. Kadang sepulang sekolah aku masih menampakkan wajah ceria, tapi dikamar aku merutuk diri.

Ku kira jualanku akan segera terhenti. Ah ternyata tidak. Justru malah orang-orang tahu bahwa aku selalu berjualan gorengan. Dan kadang mereka datang sendiri ke dalam kelasku tanpa harus kubawa daganganku berkeliling. Lama-lama rasanya aku senang juga, gengsi itu terpinggirkan. Aku pun dikenal sebagai salah satu siswa yang mebawa dagangan.

Ah, jika kuingat-ingat memang sukar sekali. Tapi aku bahagia, aku bisa membantu ibu.
Sepulang sekolah, setelah berdesak-desakkan dengan siswa lain di dalam angkot, aku menyusuri jalan menuju rumah. Mengucap salam dan kutemui ibu sedang menyiapkan makan sore untuk orang rumah. Aku selalu menyiapkan uang hasil jualanku di saku, untuk kemudian ku berikan pada ibu. Saat uang hasil berjualan ku sodorkan, matanya berkilat-kilat antara tertimpa cahaya dan linangan air mata.

Dari sanalah, aku tahu rasanya membantu itu menyenangkan. Ketika aku mendengar nasihat kepala sekolah dalam breakfast motivation setiap pagi, aku pun bertanya-tanya, mungkinkah aku sudah selangkah lebih maju daripada siswa yang lain?

Tatkala mereka fokus untuk menuntut ilmu, aku justru malah harus membagi fokusku antara belajar dan mengejar waktu istirahat. Sebab, sekali saja kehilangan waktu 15 menit istirahat itu maka pupuslah harapan untuk bisa berkeliling kelas dan berjualan.

Namun, berdagang itu tak terlalu lama ku geluti. Kelas 2 SMA sampai beberapa bulan di kelas 3. Sisanya, aku harus fokus belajar untuk mengejar ujian kelulusan SMA. Tapi aku bersyukur, diberi kesempatan untuk merasakannya.

Pada akhirnya yang bisa dilakukan hanyalah penerimaan. Bila kutelisik lagi episode-episode masa SMAku, seperti semua berjalan biasa saja, namun didalamnya memiliki berbagai makna yang mampu menguatkanku samapi detik ini.

Ya, itulah perjalanan hidup. Seperti pepatah yang mengatakan :"hanya orang gila saja yang mengaharapkan  hidup bahagia tanpa kesedihan."

Hari ini, aku bersyukur... jika tak ada jalan seperti itu, entah hari ini aku sedang berada di mana dan dalam keadaan apa. Terima kasih Ibu, selalu membantuku menjadi tangguh dari waktu ke waktu.

Komentar

  1. Sukses untuk tulisannya semoga bisa berkembang lagi dan menciptakan buku sendiri.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini Jangan Gagal lagi

Salah Kamar (1)

Aroma Biru Beradu Rindu