Buku : Perlahan Menjadi Candu
Entah sejak kapan persisnya aku amat menyukai tulisan-tulisan dalam segala macam media cetak. Entah mungkin lingkungan juga lah yang membentukku menjadi manusia yang tergila-gila pada tulisan. Dulu, rutinitas pagi kami sebelum berangkat sekolah adalah menunggu penjual gorengan keliling untuk membeli beberapa buah bakwan untuk lauk makan. Alas gorengan itu selalu menggunakan koran. Tulisan-tulisan koran itulah yang selalu menemani aktivitas sarapanku sehingga aku bisa makan sambil menikmati hiburan membaca tulisan kilat dalam potongan koran yang tak lengkap.
Sejujurnya, diusia 5 tahun aku sudah diajari bagaimana caranya membaca. Dan buku yang ku punya hanya satu, buku yang tulisannya :"a i u e o. A ba a ca a da." Yang sudah lumayan lecek karena buku tersebut adalah buku lungsuran dari teteh yang usianya pun terpaut 7 tahun denganku.
Hebatnya mamah kami, pusaka harta untuk membaca itu terjaga sebegitu eloknya sampai turun padaku, anak ke-2.
Rutinitas belajar membaca itu selalu menyenangkan, karena mamahku yang menjadi guru belajar membacaku. Setiap saat, setiap waktu, membaca tak pernah membosankan karena mamahku, guruku.
Mamahku pantang meloloskan hasil bacaan jika tidak benar. Katakanlah, lebih baik anak-anaknya menangis, daripada bacaannya salah tapi lolos. Pun demikian ketika mengajari kami belajar membaca al-Qur'an. Alhasil, setelah belajar membaca itu selesai, mata-mata kami pasti sembab. Kadang menangis karena dimarahi, menangis karena tak hapal dan tak kunjung diberi tahu, atau menangis karena kesal pelajaran masih berlangsung, tapi terlihat teman-teman sudah berlari-larian dalam gelak tawa bermain di luar rumah. Kalo tak dilewati proses itu, entah kapan kami jadi candu terhadap bacaan.
Tepatnya pada tahun 2006, tiba saatnya aku masuk ke sekolah dasar. Buku bacaan pun menjadi beraneka ragam. Banyak jenis. Aku ingat sekali, kelas 1 SD setiap murid diberikan 1 buku oleh ibu guru untuk belajar membaca di rumah. Bukan main girangnya hatiku, itu adalah buku pertamaku sebagai siswa SD yang boleh dibawa ke rumah. Aku menjaga buku itu dengan amat hati-hati. Setiap sepulang sekolah selalu ku ajak mamah, yang ketika itu sedang sibuk-sibuknya mengurusi adik kecil kami -bayi, untuk menemaniku membaca. Tapi beliau tak pernah menolak, selalu menemaniku belajar membaca.
Beberapa bulan kemudian, buku-buku itu harus dikumpulkan kembali ke sekolah. Buku yang ku jaga masih rapi dan bersih. Aku ingat sekali, aku membacanya dengan hati-hati, tanpa makanan dekat buku sehingga buku tidak kotor. Membuka secara pelan-pelan setiap halamannya, sehingga sisi bawah buku masih rapi. Tapi aku harus berpisah dari buku itu di detik-detik sebelum penghujung semester 1 berlalu.
Beberapa bulan kemudian, di semester 2 buku-buku itu kembali diberikan kepada kami untuk belajar membaca di rumah, lagi. Daaaaaaaaan... buku yang kudapatkan kali ini mengenaskan : ada robekan, buku kotor, gambar-gambar sudah diwarnai, sampul buku terlipat dan buku kumal. Ah, aku tak suka. Maka saat pulang ke rumah dan membawa buku itu ke hadapan mamah, aku tunjukkan wajah muramku. Aku tak suka. Aku menangis karena buku yang kudapatkan ini tak seperti buku yang dulu kurawat dan kujaga dengan baik. Mamahku bilang :"yang penting Ena bisa baca isinya. Terserah bukunya seperti apa juga."
Tapi tak lantas aku jadi senang. Justru karena buku itu, aku malas sekali membacanya. Ada perasaan tak nyaman dengan kondisi buku itu. Aku sedih... kehilangan buku yang sudah ku rawat dengan baik dan harus bertemu buku kumal itu.
(Kejadian beberapa tahun setelahnya, sekitar tahun 2011)
Sekolahku mendirikan perpustakaan. Koleksi bukunya lengkap dan banyak. Ini surga untukku. Setiap siswa bebas membaca di perpustakaan, namun jika akan dipinjam ke rumah dibatasi hanya 2 hari lamanya.
Aku ingat sekali, di perpustakaan itu aku sudah khatam buku tentang ensiklopedia seri ilmu pengetahuan bidang teknologi. Karena kurang puas jika hanya membaca di sana, aku pun berniat meminjam buku seri ke-2 dari kumpulan buku ensiklopedia itu, yakni seri biologi-tumbuhan dan hewan di dunia. Memang buku tersebut teramat tebal; tapi aku yakin aku akan membacanya sampai selesai.
Ketika kubawa buku itu ke hadapan pustakawan sekolah, dia menatapku dan buku yang ku pegang. Lalu bicara kepadaku :"ganti aja bukunya. Jangan pinjam yang itu."
Aku pun menatap pustakawan itu dengan penuh keheranan. Apa salahku, pikirku.
"Tapi, bu. Pengen pinjem bukunya yang ini ko." Aku meyakinkan beliau.. jujur mataku sudah berkaca-kaca dan sudah berputus asa. Tapi apa boleh buat, aku ingin meminjam buku itu.
Tiba-tiba datang seorang guru lelaki, yang ku perkirakan bahwa dia sempat mendengar percakapan di antara aku dan pustakawan itu.
"Kenapa, bu? Kenapa, de?" Kata bapak guru itu kepada kami.
"Ini, pak. Dia mau pinjam buku itu (menunjuk buku yang sedang kupeluk), saya bilang ganti aja bukunya. Itu ketebelan percuma kalo ga kebaca. Saya suruh ganti aja sama yang lebih tipis. Waktu pinjamnya kan cuma 2 hari." Pustakawan itu menjelaskan pada bapak guru itu.
"Tidak apa-apa. Kasih pinjam saja bu. Jangan membatasi atau melarang anak untuk membaca." Bapak itu menjawab si ibu. Aku senang bukan kepalang mendengar perkataan bapak guru itu.
Bapak itu melanjutkan "baca bukuna nya bageur, sing getol. (Baca bukunya ya sayang, yang rajin.)" Katanya padaku.
Aku terharu.. membawa buku itu dalam pelukanku dengan mata sedikit berkaca-kaca. Dan membawanya ke dalam kelas untuk dimasukkan ke dalam tas.
Di rumah, energiku amat menggebu-gebu untuk menikmati buku itu. Terbukti... buku setebal sekitar 180 halaman itu habis hanya dalam kurun waktu satu hari satu malam.
Bapak, terima kasih... telah mempercayaiku untuk meminjam buku itu. Sehingga semangatku tidak runtuh saat itu juga. Semoga Allah pun senantiasa memudahkan serta melancarkan setiap ikhtiar bapak. Semoga Allah memuliakan kehidupan bapak, di dunia dan di akhirat. Aamiin
Cianjur, 14 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar