Kisah Kasih Bapak




Bapakku, sosok lelaki yang menggoreskan cinta terdalam di sanubari.
Bapakku, seorang lelaki kurus dengan badan tinggi dan kulit sawo matang.
Bapakku, cinta pertama dalam hidupku yang tidak bisa tergantikan. Tetesan peluhnya menjadikanku bisa bertahan hidup sampai detik ini. 
Bapakku, semoga Allah menyayangimu lebih dari kasih sayang yang telah kau beri untukku sampai detik ini.

3 tahun lamanya, Bapakku harus mengisi kekosongan posisi Mamah di rumah. Hari ini aku sadar, bahwa itu tidaklah mudah. Dulu, aku selalu menilai bahwa Bapak tidak menyayangi aku, anaknya. Semua beban tugas rumah tangga harus dikerjakan olehku, padahal aku lelah seharian sekolah dan disuguhkan pekerjaan rumah. Tapi aku alpa saat itu, tidak teringat bagaimana lelahnya Bapak yang seharian berdiri untuk bekerja di bawah teriknya mentari yang menyengat kulit. Membuat kulitnya yang sawo matang semakin legam. Membuat lelahnya mencari nafkah bertambah-tambah karena memikirkan anak-anak di rumah.

Hari di mana Mamah berangkat menuju asrama singgah para TKW di Jakarta adalah hari yang sangat memilukan. Memang ya, dari siang hingga sore hari aku bisa bercanda tawa dengan kawanku seperti halnya anak kecil yang tak tahu apa-apa. Tapi saat hari menjelang malam, barulah terasa, rumah yang kemarin malam begitu riuh oleh banyak suara, kini senyap. Malam itu aku sadar, suara ramai yang biasa hadir itu datang dari mulut Mamah. 

Setiap menjelang magrib, suaranya akan terdengar sangat keras. Menyuruh kakakku berangkat mengaji, dan mengomeliku yang kedapatan malas-malasan saat harus berangkat mengaji. Hari itu, tak ada lagi. Suara Mamah tak nyaring lagi.

Malam itu, aku memandangi foto Mamahku di KTP lama miliknya. Wajah yang siang tadi berjuang sekuat tenaga untuk berusaha tegar meninggalkan kami dalam keterasingan tanpa sosoknya. Aku menangis sesenggukan, menyadari bahwa kepergian mamah menyisakan goresan luka dihati, anak usia 9 tahun yang tak tahu apa-apa.

Di hari itu, Bapakku menggendongku sambil terduduk. Aku dipeluknya erat-erat seolah Bapak tahu bahwa ada anak kecil yang begitu kesakitan akan menghadapi perjuangan panjang kemudian hari. Aku menatap matanya yang menatap lurus ke depan. Tatapan kosong yang di dalamnya terdapat seribu kebingungan. Jika saja kutahu, bahwa malam itu bukan hanya aku yang menangis sendu. Tapi Bapakku juga menangis dalam diamnya saat menggendongku.

Saat itu, aku tidak tahu apa yang dipikirkan Bapak dalam lamunanya. Yang kutahu Bapak selalu melarangku dengan  suaranya yang keras agar tidak tidur larut malam, sementara ia bisa berlama-lama dalam lamunannya dan selalu tidur tengah malam. Aku benci larangannya, tapi hari ini aku sadar, bahwa Bapak sangat menyayangiku. Bapak tidak ingin putrinya kekurangan jam istirahat agar bisa pergi ke sekolah dengan semangat setiap harinya. 

Saat Mamah tidak di rumah, Bapakku menunjukkan kebolehannya dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Setiap pagi dia akan membuatkan nasi goreng dari nasi sisa semalam. Nasi goreng telur kecap, itu menu sarapan yang setiap hari kami makan. Tapi kami, anak-anak Bapak tidak sedikit pun merasa bosan. Tangan Bapak berkesan bagi kami. Meski tidak seenak buatan Mamah, tapi nasi gorengnya sudah membuat kami semakin kuat untuk menghadapi hari-hari yang akan dilalui.

Bapakku mengajariku bagaimana caranya memasak nasi. Bagaimana caranya menghidupkan tungku kayu bakar. Mengajakku sama-sama memasak, aku diharuskan membantunya. Mengupas kulit telur, mengupas bawang-bawang, memotong sayuran, atau apa saja yang akan jadi hidangan makan kami hari itu.

Bapakku seorang kuli bangunan. Beliau tidak memiliki tempat kerja tetap. Beliau akan bekerja di mana saja saat tenaga dan keahliannya dibutuhkan. Hari itu, Bapak kerja jauh dari rumah. Aku ingin memberinya kejutan, pikirku. Aku ingin sedikit meringankan rasa  lelahnya. Aku berinisiatif memasak nasi tanpa bimbingan Bapak. Itu terjadi ketika usiaku sekitar 10 tahun. Aku menghidupkan tungku, menapi beras, mencucinya, memasaknya setengah matang dan memasukannya ke dalam panci kukusan. Sejenak aku berpikir, aku belum tahu bagaimana nasi yang matang itu. Ah, kutepis pikiran itu demi melihat jam yang sudah menunjukkan waktu pukul 16.~ aku yakin, sebentar lagi Bapak pulang.

Beliau datang dan bertanya tentang Nasi, aku menjelaskan kepada Bapak bahwa nasi sudah dikukus. Bapakku nampaknya kelelahan, dia pun tertidur. Aku lupa bahwa aku tidak tahu bagaimana nasi yang matang itu. Maka aku terus menunggu dan menunggu begitu lamanya. Setelah satu jam berlalu, tercium bau tidak sedap dari kukusan itu. Aku tak berani membukanya, maka kugoyang-goyangkan tubuh Bapak untuk membangunkannya. Meminta tolong kepadanya untuk mengangkat nasi dari panci. Namun sayang, nasi itu gosong. Air dalam panci sudah tidak ada sama sekali. Kain pembungkus nasi pun rapat ke saringan  panci. Kulihat wajah Bapak yang kelelahan seperti semakin bertambah lelah menatap nasi gosong itu. Akhirnya, hari itu kami tidak makan nasi. Bapak, adikku dan aku terpaksa makan mie instan.

Ramadhan di tahun 2010 tiba, kami menyambutnya dengan nada gembira namun tak begitu bahagia. Di Ramadhan itu, Bapak selalu memanjakan kami untuk membeli takjil dan makanan apapun yang kami mau. Bapak tidak pernah melarang, kecuali memang keuangan kami sangat kurang. Tapi Bapak tak pernah segan untuk berutang jika itu untuk urusan makan kami. Di suatu sahur, Bapak sudah memasak nasi dan lauk pauk kesukaanku. Aku dibangunkannya dari tidur pulasku. Awalnya aku membuka mata, lalu tertidur kembali. Dua kali Bapak membangunkanku, aku bangkit dari tidur, duduk dan tidur lagi. Lama-kelamaan sepertinya Bapak mulai kesal. Dia membangunkanku sambil terus bicara untuk menyuruhku makan sahur. Aku sungguh tidak tahan ketika dibangunkan dari tidur dengan direcoki suara terus-menerus tanpa henti. Akhirnya aku pergi ke dapur. menatap makanan sahur yang sudah tersaji. Kesal dalam dadaku masih tersisa. Aku mengambil nasi dengan sikap yang tak sopan. Wajah manyun dan suara trang-tring piring yang nyaring. Akhirnya Bapakku membentakku, menyuruhku keluar dari rumah dan tak usah makan sahur hari itu. Aku keluar rumah, duduk di depan pintu dapur dan menangis. Memendam kesal pada Bapakku, tapi juga menyesali kebodohanku yang bersikap demikian. Aku bertahan di sana sampai adzan subuh terdengar.

Bapak benar-benar merawatku saat sakit. Dia bahkan rela pergi kesana-kemari untuk membeli obat atau makanan yang ingin kumakan saat sedang sakit. Bapak merecokiku dengan berbagai perhatiannya. Jiwa ke-bapak-an dan Keibuan menyatu dalam diri lelakinya. Itu dilakukannya semata-mata untuk melihat anak-anaknya tumbuh dengan baik dan bahagia. 

Penyakit yang sering menghinggapiku saat SD adalah sakit gigi. Hari itu, hari kamis sore aku mulai merasa gigiku kesakitan. Dari magrib aku menahan rasa sakit yang amat sangat. Sampai aku tertidur pulas. Sepertinya setiap satu jam sekali aku terbangun dan menangis, berharap Bapak mengusap pipiku untuk meredakan sakit ini, walau aku tahu itu tak benar-benar menyembuhkan sakit gigiku. Lama-lama sepertinya Bapak mulai kesal untuk mengusap pipiku karena kantuk dan rasa lelahnya. Akhirnya aku dibiarkan.  Aku menangis dari mulai volume sedang sampai menjelma menjadi stereo dan keras sambil memanggil-manggil Mamah. Dan Beliau terjaga dari tidurnya sambil berkata kepadaku :"sampai jutaan kali pun kamu memanggil Mamahmu, dia tidak akan pulang ke  sini dan mengusap sakit gigimu itu." Aku menangis semakin menjadi-jadi setelahnya. 

Bapakku hebat, suatu kali dia bertanya pada uwak-uwakku tentang resep masakan. Apa saja bahannya, bagaimana memasaknya dan bagaimana cara mengolahnya. Itu dilakukan untuk kami, anak-anak yang selalu meminta makanan yang sulit. Terkadang Bapak pun yang dengan sukarela menawari apa yang sedang Aku dan adikku ingin makan. Dan memasaknya dengan penuh cinta. Bapak juga yang menumbuhkan kesadaran bahwa aku harus mencuci bajuku sendiri. Dan  kebiasaan itu merambah menjadikanku orang yang mencuci baju anggota rumah, saat Mamah tak ada.

Bapak, terima kasih telah merawatku dengan baik, semoga Allah selalu melindungi dan memberikan kesehatan untuk Bapak. Keberkahan usia dan hidup serta memberikan Bapak kemuliaan di dunia dan di akhirat. Semoga lelah Bapak dalam menghidupi kami beroleh syurga dan ridho dari-Nya, aamiin.

Terlalu banyak hal indah yang pernah kulalui dengan Bapak, sampai aku tidak mampu menuliskan semua kisahnya di sini. Bapak, ini aku putri kecil yang menyayangimu. Apabila suatu saat nanti kutemui pangeran dalam hidupku, maka Engakulah raja yang menetap dihatiku dan takkan ada siapapun yang bisa menggantikan posisimu.

Terima kasih untuk bekal cinta yang selalu kau ajarkan untukku, semoga kelak aku bisa mendidik anak-anakku dengan penuh cinta sebagaimana cintamu untukku, Bapak.

Cianjur, 18 Desember 2019.
22.51 WIB

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini Jangan Gagal lagi

Salah Kamar (1)

Aroma Biru Beradu Rindu