Gara-Gara Mamah



Aku ingin menuliskan tentang rangkaian cerita bersama beliau. Bagaimana kesalnya aku pada beliau, Ibuku, yang sering kupanggil Mamah. Banyak hal yang tak bisa kuurai satu-persatu, bagaikan kumpulan benang kusut yang bersatu padu, saling bertautan sampai tak diketahui mana ujung mana pangkal. Tapi, aku adalah anak dari seorang Ibu yang kupanggil Mamah.

Jelas, aku tahu bagaimana awal mula aku hadir di dunia ini. Hadir di tempat yang sama sekali asing untukku. Tempat yang membuatku banyak mengetahui hal baru. Tempat yang memberiku banyak tantangan dan rintangan, tapi tatkala kulihat wajah Mamah, seolah senyumnya selalu berkata :"kamu pasti bisa  melakukannya."

Ya, Mamahku, Ibuku. Orang yang mengandungku, melahirkanku, menyusuiku, merawatku, anak-anaknya dengan penuh cinta kasih dan perhatian. Tak sedikitpun ada kekecewaanku pada beliau, kalaupun ada itu karena aku belum menyadari bahwa  semua nasihat beliau adalah seumpama permata yang amat berharga untukku.

Baiklah, aku akan memulainya. Memulai tentang bagaimana sesuatu bisa kulakukan gara-gara Mamah.

Ini adalah cerita ketika aku berusia 4 tahun, aku ingat sekali. Pagi hari kami pergi ke rumah Nenek. Memang tidak terlalu jauh, tapi pergi ke rumah Nenek selalu menjadi tantangan tersendiri untukku karena aku tidak dapat melintasi parit dengan lebar sekitar 1 meter. Maka, setiap kami akan berangkat ke rumah Nenek, Mamah akan dengan sigap memegang tanganku agar dapat berjalan di atas titian yang melintang dari sisi parit menuju sisi sebrangnya. Lebarnya hanya 1 meter, tapi apalah arti "hanya" bagi anak kecil seusiaku yang menganggap itu sulit disebrangi.

Dari pagi hari hingga sore hari biasanya aku akan bermain di rumah Nenek. Aku tak tahu apa yang sebetulnya di kerjakan Mamahku di rumah Nenek. Yang jelas, aku menikmatinya karena setiap kali aku berkunjung ke rumah Nenek, maka aku akan bisa bermain dengan bibiku, yang usianya tak terpaut jauh denganku.

Tiba sore hari, Mamah mengajakku pulang. Kembali menuju rumah melewati pematang sawah dan titian di atas parit selebar 1 meter itu. Sejak awal, aku meminta pada  Mamahku jika kami pulang, aku ingin membeli jajanan di warung yang kami lewati. Mamahku tak menyetujui pun tak ada reaksi menolak. Tatkala kami pulang, ternyata Mamah membawaku menuju jalan lain, sehingga warung yang harusnya kami lewati tidak sejalur dengan jalanku. Aku mulai memperlambat langkah kakiku, sengaja menahan laju jalan Mamah. Protes akan kebijakannya yang tidak menggubris keinginan jajanku.

Perlahan, aku mulai menggigit telunjukku. Berupaya sekuat tenaga untuk menahan tangisku agar tak pecah di tengah jalan. Hey, iya aku memang anak usia 4 tahun. Tapi menangis di tengah keramain orang dan ditempat yang dirasa asing itu sungguh tidak keren, aku akan merasa malu.

Ternyata, upayaku menahan tangisan gagal, aku menangis  perlahan. Mematung di tempat berdiri. Menahan segala kesal yang membuncah pada Mamahku. "Tak peduli pada anaknya, tak sayang." Itu yang memenuhi imajinasiku saat menangis. Mamah mulai menatapku yang diam ditempat dan suara tangisku mulai nyaring.

Apa yang Mamahku lakukan?

Dia menatapku, entah tatapan apa itu. Aku tak paham. Aku sedang sedih ingin jajan. Dan Mamahku bukan menenangkanku, anaknya yang sedang bersedih. Beliau malah mengambil cara lain. Beliau berkata kepadaku dengan intonasi keras :"kalau mau pulang, cepat jalan sekarang juga. Kalau gak mau, Mamah tinggalin kamu di sini!" Kata beliau, tegas. Tak ada ampun.

Aku seolah mati kutu. Tangisanku semakin jelas dan nyaring. Ingin rasaku mengadu pada Bapak, tapi akupun tak tahu Bapak di mana pada saat itu. Perlahan aku melihat mamahku berjalan meninggalkanku. Oh, aku masih diam di tempat. Tak dapat bergerak. Mamahku semakin jauh meninggalkanku, mempercepat langkah berjalannya. 

Aku mulai panik, aku berlari-lari sambil menangis, menyusul beliau. Memanggil-manggil beliau, berseru "mamah, mamah." Sembari air mata dan suara tangisan yang masih syahdu. Di tengah pematang sawah, Mamah berhenti dan menyuruhku diam, tapi aku tidak bisa menghentikan tangisku. Aku terlanjur sedih.

Mamahku berlalu, pergi meninggalkanku. Dan bisa kupastikan jaraknya menuju jembatan titian tinggal beberapa langkah lagi. Maka, aku berlari sekuat tenaga mengejarnya, mengejar Mamahku. Sayang sekali, beliau tak menghiraukan aku yang tak bisa menyebrangi titian itu. Beliau meninggalkanku tanpa memperlambat langkahnya sedikitpun.

Aku panik, kalut, ketakutan. Memanggil beliau dengan menjerit-jerit. Langkahku menuju titian tinggal 5 langkah lagi. Aku tak tahu harus bagaimana, namun seolah ada kekuatan dari dalam diriku yang mendorongku untuk menyebrangi titian itu, jalur  tersulit menuju rumah Nenek. Tak kusangka, dengan air mata dan suara tersedu-sedu sambil menyerukan "MAMAH, MAMAH." Setengah menejerit, aku mulai melangkahkan kaki di atas titian itu sambil mempercepat langkah, karena aku takut terjatuh dari titian dan tercebur ke dalam air. Kau tahu, aku berhasil melalui jembatan itu. Jembatan titian yang selalu kutakuti saat melangkah di atasnya.

Tatkala sampai di rumah, kulihat mata Mamahku berkaca-kaca. Aku tak tahu kenapa.

Ya, setelah hari itu, hari yang amat menyedihkan untukku. Hari di mana Mamah meninggalkanku, tak memegangiku saat melewati jembatan titian, aku menemukan keberanian baru dalam diriku. Aku tahu, ternyata aku bisa melawan ketakutanku.

Setiap akan menuju rumah Nenek dan melintasi titian itu, aku tak takut lagi. Mamah tak perlu memegangi tanganku lagi ataupun memapah langkahku. Aku sudah bisa, Mah. Gara-gara paksaanmu, gara-gara ketegasanmu saat itu, aku bisa melewati titian tiga bilah bambu itu.

Mah, sampai hari ini pun, Mamah yang selalu membuatku bangkit melawan segala rasa takut yang mengerubungi. Menghadirkan keberanian dalam diriku, dan menemukanku dalam pandangan yang lain. Bahwa, aku bisa melewati segala rintangan saat aku memutuskan bahwa aku pasti bisa.


Image source : Google

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini Jangan Gagal lagi

Salah Kamar (1)

Aroma Biru Beradu Rindu