Hallo, 2022!
"Tidak penting apa yang orang lain katakan terhadap apa yang telah kita lakukan atau kerjakan. Yang terpenting adalah kita telah menunaikannya dengan baik, dengan jujur dan amanah. Karena apa yang kita lakukan itulah yang akan menjadi nilai kita dimata Sang Pencipta dan sesama manusia."
Well, hei.
Sudah lama rasanya tidak bersapa ria. Menulis menjadi hal yang sangat aku rindukan akhir-akhir ini. Tapi entah mengapa, rasanya tanganku enggan menyentuh tuts keyboard untuk sekedar mengetik kata "Hallo". Tapi, terus saja aku mencoba dan berusaha sampai akhirnya aku bisa menulis blog pertamaku di bulan Januari 2022. Bagaimana rasanya? Puas sekali.
Aku ingin berbagi segala hal yang aku alami selama tahun 2021 tapi aku kebingungan entah harus memulainya dari mana. haha...
Baiklah, aku akan menceritakan tentang satu hal yang selalu menjadi pedomanku untuk bersikap dan berperilaku (jika aku tidak lupa untuk melakukannya, wkwkwk).
Ketika aku duduk di bangku SMA, guruku yang kebetulan saat itu menjadi pembimbingku untuk perlombaan debat bahasa Inggris mengajakku mengobrol di sela-sela kami menunggu teman-teman yang lain datang. Beliau bercerita tentang kisah arsitek yang hampir pensiun. Beliau berpesan bahwa setiap orang adalah arsitek untuk dirinya sendiri. Arsitek yang harus merancang bangunan yang baik untuk mempersiapkan masa depannya.
ini ceritanya,
Suatu hari, seorang arsitek yang sudah hampir pensiun dipanggil oleh atasannya. Sang atasan berkata kepada arsitek itu bahwa dia menginginkan sebuah bangunan terakhir karya sang arsitek sebelum akhirnya arsitek itu berhenti untuk membangun apapun lagi.
Atasan itu meminta sang arsitek merancang sebuah bangunan yang bagus dan kokoh. Sang atasan mulai menceritakan secara detail kepada sang arsitek tentang hal-hal apa saja yang dia inginkan dalam bangunan itu. Sejujurnya, sang arsitek sudah jenuh mendengarkannya, dalam hati ia merutuk "kenapa harus aku yang melakukannya." Kenapa sang atasan tidak meminta arsitek junior untuk melakukannya, padahal arsitek itu tahu betul bahwa di kantornya banyak arsitek muda yang bisa melakukan hal itu. Tapi mengapa sang atasan memilih dirinya.
Singkat cerita, sang arsitek mulai melakukan tahap pembangunan. Sebagai arsitek, ia mafhum betul apa-apa saja yang ia butuhkan dalam pembangunan ini. Ia paham sekali material apa saja yang seharusnya ia pakai dalam proses pembangunan ini.
Namun yang terjadi adalah arsitek itu membuat desain rumah yang amat sederhana, bahkan terkesan asal-asalan karena ia sudah tidak memiliki mood untuk bekerja. Dalam memilih material pun, sang arsitek menurunkan kualitas barang-barang dibawah standar yang seharusnya ia gunakan. Jika seharusnya ia menggunakan material dengan kualitas grade A, maka sang arsitek memilih bahan dari grade B. Si arsitek melakukan pekerjaan yang benar-benar dibawah standar kualitas pekerjaan yang biasanya dia terapkan dalam standar kerjanya.
Setelah rumah yang ia rancang dan ia bangun selesai, arsitek ini kembali menghadap atasannya. Ia mengatakan bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya. Sang atasan pun berkata kepada si arsitek bahwa dia tidak akan melihat hasil bangunan itu. Sang atasan justru mengucapkan selamat kepada arsitek itu atas pensiunnya, dan memberikan bangunan terakhir yang dibuat oleh si arsitek sebagai hadiah darinya atas jasa sang arsitek selama ini yang telah mengabdi kepada perusahaannya. Kemudian sang atasan pun meninggalkannya.
Si arsitek tertegun lama. Ia terdiam lemas. Duduk dalam penyesalan yang dalam. Duh, jika saja ia tahu bahwa bangunan terakhir yang ia bangun adalah tempat tinggal untuk dirinya, tentunya ia akan bersemangat untuk membangunnya. Bekerja sepenuh hati dan penuh dedikasi. Ia akan memilih material terbaik dan mendirikan bangunan kokoh dengan kualitas terbaik yang pernah ia bangun. Namun, justru ia mendapati penyesalan teramat dalam karena ketidaksabarannya atas itu. Ia telah membangun bangunan asal-asalan dengan kualitas di bawah standar kerjanya, tapi ternyata itu adalah rumah yang ia bangun untuk dirinya sendiri. Begitulah akhirnya, sang arsitek menyesali pekerjaannya.
Pesan yang disampaikan guruku atas hal ini adalah,
Dalam hidup apapun yang kamu lakukan itu semua adalah hal yang kamu lakukan untuk dirimu sendiri.
Ibarat arsitek tadi, apapun yang kita bangun untuk orang lain, sejatinya kita sedang membangun diri kita sendiri. Jika kita melakukan suatu pekerjaan dengan standar kualitas A, maka sebetulnya kita sedang mempersiapkan diri kita agar memiliki reputasi dengan kualitas A. Kuncinya, apapun yang kita lakukan, itulah yang sedang kita bangun untuk diri kita sendiri.
Dalam kebaikan yang kita lakukan, maka lakukanlah kebaikan itu dengan standar yang paling baik. Dengan harapan, apa yang kita lakukan ini akan menjadi bagian dari standar kehidupan kita. Kita sering diajarkan oleh orang tua kita, lakukanlah kebaikan dengan perlakuan yang paling baik karena kelak apa yang kita lakukan akan menjadi sesuatu yang berbalik kepada diri kita.
sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. ar-rahman ayat 60 yang memiliki arti "tidak ada balasan untuk kebaikan melainkan kebaikan (pula)"
Sudah menjadi hukum alam (sunatullah) bahwa apa yang kita lakukan di hari ini, akan kembali lagi pada kita seperti yang kita lakukan. Sebagaimana hukum tabur-tuai, jika kita menabur perbuatan baik, maka yakinlah suatu hari yang akan kita tuai adalah kebaikan pula.
Seperti yang pernah dikatakan oleh guruku bahwa sebetulnya tidak penting apa yang orang lain katakan terhadap apa yang telah kita lakukan atau kerjakan. Yang terpenting adalah kita telah menunaikannya dengan baik, dengan jujur dan amanah. Karena apa yang kita lakukan itulah yang akan menjadi nilai kita dimata Sang Pencipta dan sesama manusia.
Komentar
Posting Komentar