Di Antara
Kadang benakku dipenuhi tanya yang tak pernah bisa kudapatkan jawabannya.
Walau bisa kuprediksi situasinya, aku memilih menjadi diam dan bodoh seolah tak
pernah ada hal yang salah di antara kita berdua. Rasanya, dengan hanya menatap
sorot kedua matanya, lebih dari cukup bagiku. Meskipun pertanyaan yang sama
selalu berulang di kepalaku, “kekasih, dimana letak diriku dalam hidupmu?”
Aku penasaran, di antara kedua matamu, bagaimanakah sosok diriku? Apakah
aku layak dicintai dengan pasti? Karena hatiku ragu ketika tak mendapat jawaban
darimu. Pernah kudengar nasihat orangtua, bahwa lelaki hanya bisa membuktikan
keseriusannya lewat keberanian untuk meminta menikahi perempuan. Namun,
sanggupkah aku menerimanya bila memang itu terjadi? Sedangkan aku tak tahu pasti,
bagaimana matamu menggambarkan sosok kehadiranku di hidupmu. Kulihat, ada atau
tiadanya diriku dalam hidupmu, dalam hati dan pikiranmu, tak ada bedanya. Kau
masih dapat menjalani kehidupanmu dengan sebaik-baiknya, walapun mungkin esok
nanti aku hilang, rapuh, hancur dan musnah.
Aku ingin tahu, bagaimana rupa suaraku di antara kedua telingamu. Masihkah
lagu-lagu yang kunyanyikan dengan fals menjadi suara yang kau nantikan dengan
tak sabar? Atau masihkah kamu mau mendengarkan segala keluh kesah, ocehan dan omelan
yang keluar dari mulutku yang bahkan tak bisa menjadi sunyi sepi barang
beberapa detikpun. Aku tak yakin, sebab aku meraba telingamu dengan perasaanku.
Belum sempat ku utarakan kata yang mengganjal dalam hatiku, kau cepat-cepat
berpaling tak sabar agar bisa segera menghindari segala kata yang akan
kulontarkan.
Di antara seribu hari membersamai perjalananku, perjalananmu, hari yang
mana yang paling kau kenang? Hari apa yang paling membuatmu bahagia? Rasanya
semua hari yang berhasil kurajut dengan adanya kehadiranmu di dalamnya adalah
hari yang tak dapat kugantikan dengan apapun. Atau mungkin, menjadi hari yang
tak ingin kuhapuskan dari memoriku, tak peduli seberapa menyakitkannya itu
asalkan ada kehadiranmu di dalamnya.
Namun, akhir-akhir ini aku banyak merenung. Kekasih, mengapa rasanya
mencintaimu ibarat duduk berjam-jam dalam wahana roller coaster? Aku
hanya bisa berteriak kencang, meraung dan mengeluarkan air mataku, karena shok,
takut, ingin berhenti dan tak sanggup lagi. Namun kau masih melaju dan tetap
melaju tak peduli seberapa kerasnya aku memintamu untuk berhenti.
Jangan membuatku menjadi bodoh dan melupakan kenyataan bahwa aku juga
manusia yang bebas dan berhak memilih. Mencintaimu adalah sebentuk rasa kagumku
pada cara semesta bekerja, namun lebih jauh aku menyadari jika cinta yang gagal
dirawat adalah cinta yang suatu saat akan berakhir juga.
Oleh sebab aku tak mendapati diriku dalam hidupmu, rasanya hatiku hancur
berkeping-keping. Bagaimana kujelaskan perasaan ini secara rinci kepadamu ....
Pernahkah jarimu teriris pisau? Rasanya begitu sakit, namun seiring
kesakitan yang tiada hentinya itu, aku justru menemukan kenikmatan lain, bahwa
perihnya, tetesan darahnya, dan rasa nyeri serta ngilunya menjadi semacam
perasaan sakit yang berbahaya, namun aku takut mengakhirinya. Aku takut luka
itu sembuh, sebab setiap nyeri yang muncul selalu memberiku rasa gembira yang
lain.
Jangan membuatku semakin tenggelam dalam perasaan dan kebodohan ini. kuharap, kau akan berbicara sebagaimana seharusnya seorang lelaki berucap. Jantan. Walau nantinya aku akan dihantam palu godam yang lukanya tak bisa kuprediksi apakah dapat sembuh atau tidak, namun itu lebih baik daripada diam bersamamu tanpa tahu apakah aku terlihat di antara kedua matamu, dan suaraku terdengar di antara kedua telingamu.
Komentar
Posting Komentar