Sepenggal Cerita dari Alun-Alun Cianjur
Tak lupa aku dan teman sekampus mengambil foto di beberapa lokasi di alun-alun. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17. 34 saat kami mulai memasuki kawasan alun-alun.
Awan mendung itu tidaklah menyurutkan minat pengunjung untuk menikmati pertunjukkan yang sedang berlangsung. Ada band musik di sana, dengan 2 orang penyanyi wanita berhijab. Ketika pertunjukkan itu berlangsung, Shelly, teman sekelasku, mengajak rombongan kampus untuk menyebrangi area yang sedang menjadi pusat perhatian penonton, agar kami bisa mencapai tangga di sebrangnya. Namun, ketika kami berhasil menyebrang ternyata grup band musik itu berhenti. Dan mulai terdengar suara MC mengumumkan bahwa nanti akan tampil lagi pengisi acara setelah salat maghrib.
Sebetulnya memang ketika grup band itu tampil, suaranya saling bersahut-sahutan dengan sholawat yang bergema dari masjid Agung.
Walaupun pertunjukan break, rasanya itu tak menjadi gangguan untuk kami. Kami tetap berfoto, bersenang ria bersama-sama.
"Untuk kenang-kenangan, kapan lagi bisa ke alun-alun Cianjur pada saat ngampus." Celetuk temanku.
Suasana mulai berubah dingin. Awan semakin pekat, tak lama sekitar beberapa menit kemudian terdengar suara lantunan merdu adzan maghrib. Rombongan kami masih duduk diam mendengarkan adzan. Saat adzan usai, kami berembuk, ada yang ke masjid agung, ada pula yang memutuskan untuk pulang dan salat di rumah saja.
Ada yang mengherankan? Ada. Sesuatu yang mengherankan buatku. Sesaat setelah adzan berhenti, sebagian manusia berjalan untuk memenuhi panggilan rindu RabbNya. Sebagian lagi ? Ada yang masih santai-santai. Mungkin mereka masih halangan, karena yang santai itu mayoritasnya perempuan, dan sebagian laki-laki. AtU mungkin juga meteka sudah memprediksi bahwa masjid tidak akan mampu menampung jumlah yang membludak itu, dan menunggu giliran salat dengan yang lain. Tetap berprasangka yang baik-baik saja.
Kami mulai menyusuri jalan menuju area masjid, bersama rombongan orang-orang yang hendak menunaikan kewajibannya.
Hujan gerimis namun tak terlalu lebat mulai turun saat kami sampai di depan pintu masjid yang langsung menghadap ke arah alun-alun. Namun, saat teman-temanku selesai melepas sepatu, hujan itu semakin lebat.
Aku yang berdiri di depan pintu masjid secara langsung dapat menyaksikan bagaimana kerumunan orang-orang yang awalnya bersantai-santai di atas rumput sintetis di tengah alun-alun itu, bergerombol, berbondong-bondong untuk segera mencari tempat meneduh, tempat yang bisa digunakan untuk berlindung dari derasnya hujan.
Betapa....
Panggilan rindu Rabb kepada hambaNya tidak mampu membuat semua manusia beranjak dari tempatnya semula, namun hujan lebat yang diguyurkan, tanpa menunggu perintah, mereka dengan sukarela berpindah.
Entah apa rasanya, yang jelas sedih yang dirasakan olehku. Aku tidak sedang membicarakan siapapun, aku sedang bersedih atas diri sendiri. Betapa, rasanya sering aku pun bersikap demikian.
Ketika adzan berkumandang, masih anteng mataku menatap layar handphone. Barang kecil yang mampu membuat perubahan besar pada diri manusia.
Saat di dunia, mungkin manusia masih bisa mencari perlindungan. Saat hujan, manusia masih bisa berteduh. Namun, bayangkanlah.... saat Rabb marah kepada hambaNya kelak, kemana dan di mana manusia bisa mencari perlindungan?
Good
BalasHapusThankaaaaa mas bro, anakku.
HapusDaebakk eoni
BalasHapusGomawo 😊
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus