900 Hari







Kadang melepas seseorang itu bukan tentang berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk terbiasa tanpanya. Waktu kadang tidak menjamin bahwa kita bisa benar-benar melepas kepergian seseorang dari hidup kita. Waktu terus melaju, bertambah dan semakin mendorong kita maju ke depan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekali kenangan yang sulit untuk dihilangkan di belakang kita yang terlampau jauh melangkah diburu waktu.

Perasaan bersalah, perasaan masih sayang ataupun perasaan masih belum bisa benar-benar melepas seseorang pergi dari hidup kita, menjadi alasan mengapa kita tidak bisa serta merta lupa dan rela atas kehilangan seseorang. Ya, diri kita akan mengklaim bahwa dia egois meninggalkan kita. Takdir hidup tidak adil untuk dijalani, banyak hal yang belum terealisasikan tapi dia sudah hilang dari genggaman. Itu yang membuat kehilangan dan kepergian seseorang semakin terasa menikam dada dan membuat diri kita semakin larut dalam luka.

Percayalah, aku pun mengalaminya. Kepergian seseorang nan amat berarti. Yang kebaikannya baru kusadari setelah dia jauh, benar-benar jauh dan entah apakah bisa dia datang kembali. Yang kehadirannya selalu kutunggui, tapi sayang... aku baru sadar bahwa aku bisa berjalan dan (mungkin) bisa belajar bersama untuk menjadi lebih baik bersamanya, ketika dia sudah tidak di sampingku. Menyakitkan, sangat menyakitkan.

Entah berapa ratus hari yang bisa membuat lukaku kembali pulih. Tapi, selalu kutanamkan dalam diri bahwa aku pasti bisa bangkit, meski harus berjalan dengan kaki terseok-seok. Berjalan di atas kerikil yang amat menghujam kaki, menyakitkan rasanya. Aku bertelanjang kaki berusaha mengejar kepergianmu, sia-sia saja kau tak bisa ku temui lagi.

Kadang dalam anganku, aku membayangkan suatu hari nanti kita akan bertemu kembali, memperbaiki kaca-kaca retak yang hampir pecah agar bisa digunakan kembali. Ah ini sepertinya rasa ego dalam diriku. Kau butuh bahagia yang bisa membuatmu terbang meraih mimpi-mimpimu. Waktu sudah membuktikan, aku bukan seseorang yang bisa memberi kebahagiaan itu bagimu. 

Di hari ke-300, aku menangis... ketika menyadari kepergianmu masih menyisakan semerbak wangi kenangan untukku. Aku, merasa tertekan oleh perasaanku sendiri. Sia-sia saja rasanya, menangis sedu sedan takkan mampu menghadirkanmu kembali ke sini. Aku sudah benar-benar sendiri, menata perasaanku agar tetap bisa kokoh walau rapuh. Tapi aku mampu, aku pasti bisa. Hingga tetes air mataku di hari ke-300 tak tersisa lagi.

600 hari setelahnya, aku sadar... ada hal-hal di dunia ini yang manusia takkan mampu menolaknya, karena itu adalah takdirnya. Dan hal yang manusia tidak akan mampu menjangkaunya, karena itu bukan haknya. Lalu, aku mulai belajar... bahwa kamu mungkin hanya salah satu yang dihadirkan hanya untuk memberikan pelajaran, betapa sekuat apapun aku menjaga sesuatu yang ada di gengamanku, ketika itu tidak diciptakan untukku, maka ia akan terlepas dariku. 

Egoku meluap, muncul ke permukaan. "Aku masih menyayanginya, Tuhan." Bisikku. Lalu aku terhenyak oleh kutipan-kutipan cinta.

Aku masih menyanginya, tapi aku lupa bahwa mungkin perasaannya sudah bukan untukku lagi. Aku tidak tahu, bahwa mungkin saja pada hari ke 600 ini dia sudah bisa menambatkan hati pada tempat yang lain. Seseorang dengan kehangatan yang mampu membalut luka dinginnya karena ulahku. Dia mungkin saja sudah sembuh, karena kehadiran sosok hangat itu. Aku ternyata egois, masih mengharapkannya. Bahkan aku tak sadar, jika aku punya perasaan tak rela melihat dia bahagia bersama orang lain. Aku menatapnya dalam getir.. kamu, senyummu begitu merekah ketika menatapnya. Lalu aku? Aku hanya bisa melihatmu dalam diam. Terpaku dan membisu.

Ratusan hari belum mampu membuatku berpaling. Entah rasa apa yang mengendap dalam hatiku. Aku masih mengharapmu. Mengharap ketidakmungkinan yang terus saja ku semogakan. Ah... aku seperti manusia bodoh yang kehilangan rasionalitas pikirnya. Hingga aku berusaha menarik napas panjang, lalu ku hembuskan perlahan bersama sisa kenangan.

900 hari setelah kepergianmu dari sisiku...
Banyak hal yang aku alami. Detik waktu membuatku lebih dewasa, perih dan pedih di hati mulai terlatih. Hingga akhirnya, kutemukan lagi potretmu bersama dia. Seseorang yang membuat senyumanmu kembali merekah. Aku tahu aku kalah. Aku kalah karena membuatmu lelah. Aku kalah karena kau akhirnya pergi tanpa menoleh lagi. Aku sadari.... aku lelah, aku lelah dihantui oleh perasaan-perasaan bersalah yang mungkin tidak semuanya adalah salahku. 

Aku hanya sadar, aku tak bisa mendukungmu, sehingga aku bersyukur ketika kutemui kau bersama dia yang mulai membuatmu ingin menata kembali mimpi-mimpimu. Walau itu semakin melukaiku, tapi aku bersyukur kau temui seseorang yang bisa membuatmu bangkit, meski itu bukan aku.

Di hari ke 900 itu, aku mulai lega melihatmu. Meski harus kuakui ada air mata sakit hati menatap senyum dan mesramu. Ah, aku tak berhak lagi cemburu. Aku tak berhak lagi mengaturmu. Aku siapa? Seseorang yang bahkan pernah memecahkan keping harapan milikmu. Aku sadar... aku harus melepasmu, meski tak bisa. Aku harus melihat kau menemukan bahagia yang lain, walau sulit bagiku.

Semua kenangan tentangmu harus menjadi tak penting lagi. HARUS.

Di hari ke 900 aku menyadari, bukan seberapa lama waktu bisa membuat kita benar-benar melepas kepergian seseorang. Tapi rasa ikhlas dalam dada yang bisa menjamin seberapa kuat kamu menjalani hidupmu setelah kau ditinggalkan seseorang yang sempat singgah namun memilih pergi pada akhirnya.

Di hari ke 900, aku bersyukur. Lewat linangan air mata sakit dan bahagia, aku menemukan diriku sendiri. Betapa kuat diri ini, betapa kokoh. Walau terjatuh tapi tidak memilih rapuh. Dia masih bisa membuatku berdiri dan menjadi tangguh. Walau sempat menangis, tapi aku menemukan diriku yang setia menemani setiap perjuangan untuk menemukan sekeping bahagia yang benar-benar milikku.

Hingga akhirnya aku tahu, bahwa sesuatu yang tidak diciptakan untuk kita, akan tetap dan harus pergi meski kita memintanya ribuan kali untuk bertahan di sini. Karena sesuatu yang benar-benar milikmu akan tetap bertahan walau kau tak pernah memintanya sekalipun.

Untuk 900 hariku yang penuh makna, terima kasih... karenamu aku temukan diriku yang sebenarnya. Karenamu aku tahu, bahwa aku bisa bertahan sampai detik ini. Aku kuat, aku mampu dan aku bisa menjalaninya.



Cianjur, November 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Antara

Aroma Biru Beradu Rindu

Salah Kamar (1)